Temuan Reruntuhan di Nanzuo Berikan Petunjuk Awal Peradaban Tiongkok
Temuan menarik didapatkan dari penggalian di situs Nanzuo, Qingyang, provinsi Gansu, Tiongkok. Reruntuhan arkeologi berusia sekitar 5.000 tahun di Dataran Tinggi Loess ini dapat memberikan petunjuk penting tentang masa awal peradaban Tiongkok.
Dilansir dari China Daily, dalam konferensi online yang digelar oleh National Cultural Heritage Administration, telah ditemukan kompleks pemukiman manusia terbesar pada masanya di sana. Han Jianye, seorang profesor di Universitas Renmin sekaligus kepala penggalian mengatakan bahwa situs ini menawarkan bukti fisik peran penting dari bagian tengah Sungai Kuning dalam peradaban Tiongkok.
“Situs ini juga penting untuk membantu kami mengetahui bagaimana awal negara bagian terbentuk,” ujar Han Jianye.
Situs Nanzuo berusia 4.600 hingga 5.200 tahun dan ditemykan pada tahun 1958. Sebuah fondasi dari tanah terkompresi (rammed earth) dengan struktur dan area dalam ruangan yang luas. Rammed earth sendiri merupakan bahan bangunan yang dibuat dengan memadatkan tanah tertentu dan digunakan oleh banyak peradaban.
Memiliki ukuran 630 meter persegi membuat para arkeolog berspekulasi bahwa itu adalah sebuah istana. Sejak tahun 2014 hingga tahun lalu, para arkeolog melanjutkan penelitian di sekitar “istana” dan menemukan sembilan teras rammed earth di daerah tersebut.
Han Jianye mengatakan fokusnya adalah daerah inti reruntuhan yang mencakup wilayah sekitar 30 hektar. Daerah itu dikelilingi oleh tiga lapis parit pertahanan. Tata letak dari sembilan teras tadi simetris dan berada di tengah-tengah area pusat.
Menurut Han, pengaturan seperti ini jarang terlihat di pemukiman dari periode tersebut yang ditemukan sebelumnya. Salah satu teras, digali pada tahun ini. Meskipun mengalami erosi selama ribuan tahun, teras seluas 880 meter persegi ini masih berdiri hampir tiga meter di atas tanah.
"Konstruksi 'mewah' dan sistem pertahanannya juga memiliki ukuran yang luar biasa. Temuan ini secara bersama-sama mencerminkan kekuatan publik yang kuat, menunjukkan wilayah ini telah memasuki era peradaban,” jelas Han Jianye.
Selain itu, dari penggalian tahun ini turut ditemukan sejumlah besar tembikar yang dicat. Salah satu yang menjadi sorotan adalah guci setinggi 74 sentimeter. Temuan beras berkarbonasi menunjukkan perkembangan di bidang pertanian.
Ada pula panah, terbuat dari batu dan tulang yang diwarnai merah. Temuan-temuan ini membantu para arkeolog menggambarkan sistem ritual pada zaman itu. Pada dinasti Zhou, sekitar abad ke-11, 256 SM, panah merah diberikan oleh raja-raja sebagai hadiah kepada negara-negara bawahan.
"Tembikar, panah, dan beberapa artefak lainnya memiliki pola khusus, dan mereka akan digunakan untuk pengorbanan dan upacara,” kata sang ahli.
Berdasarkan investigasi selama beberapa tahun terkahir, situs Nanzuo diperkirakan membentang di area seluas 600 hektar. Ukuran ini 200 hektar lebih besar dari situs Shimao, provinsi Shaanxi, reruntuhan kota prasejarah terbesar yang pernah ditemukan di Tiongkok. Seorang profesor arkeologi di Universitas Peking, Zhang Chi mengatakan jika reruntuhan sebesar itu dapat dipastikan berasal dari periode yang sama melalui penelitian yang akan datang, situs Nanzuo mungkin akan menjadi penemuan di tingkat Situs Warisan Dunia.
Menurut pandangan para cendekiawan temuan Nanzuo baru-baru ini merupakah hadiah pada studi Budaya Yangshao. Penemuan budaya tersebut seabad lalu umumnya dianggap sebagai kelahiran arkeologi Tiongkok modern. Meskipun pusat Budaya Yangshao berada di provinsi Tiongkok Tengah seperti Henan dan Shanxi, temuan arkeologis menunjukkan bagian timur provinsi Gansu hari ini mungkin merupakan salah satu asalnya.
“Pada periode akhir Kebudayaan Yangshao, orang-orangnya kembali ke tanah air mereka, seperti yang ditunjukkan Nanzuo. Situs tersebut mewakili jenis peradaban, yang mungkin memiliki pengaruh yang bertahan lama pada kemunculan kota-kota berskala besar di periode selanjutnya di seluruh Tiongkok Barat Laut, seperti Shimao, tetapi mata rantai yang hilang di antara mereka menunggu untuk dibuka,” jelas Li Xinwei, seorang peneliti dari Institut Arkeologi Akademi Ilmu Sosial Tiongkok.
Post a Comment