Mengapa Patung Pria Yunani Kuno Selalu Telanjang? Ini Alasannya!
Saat mengamati patung-patung Yunani kuno, Anda akan menemukan begitu banyak patung dibuat tanpa busana. Mengapa banyak patung yang dibuat telanjang?
Pria telanjang adalah norma dalam seni Yunani. Penelitian baru menunjukkan bahwa seni mungkin meniru kehidupan lebih dekat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Ketelanjangan adalah kostum yang digunakan oleh seniman untuk menggambarkan berbagai peran pria. Mulai dari kepahlawanan dan status hingga kekalahan.
"Dalam seni Yunani kuno, ada banyak jenis ketelanjangan yang bisa berarti banyak hal berbeda," kata Jeffrey Hurwit, sejarawan seni kuno di University of Oregon. Meski sama-sama telanjang, itu bisa memiliki banyak arti.
Ketelanjangan dalam kehidupan sehari-hari
Penelitian Hurwit menunjukkan bahwa dalam beberapa situasi, para pria Yunani kuno tidak mengenakan busana. Pria berjalan tanpa toga di kamar tidur dan di pesta-pesta yang disebut simposium, di mana mereka akan makan, minum, dan bersenang-senang.
Ketelanjangan juga umum ditemukan di lapangan atletik dan di pertandingan Olimpiade.
Namun, ketelanjangan sering kali berisiko bagi orang Yunani.
"Pria Yunani, umumnya disepakati, tidak berjalan di sekitar kota telanjang, mereka tidak menunggangi kuda mereka telanjang. Dan tentu saja, mereka tidak berperang dalam keadaan telanjang," kata Hurwit.
Dalam sebagian besar konteks publik, pakaian bukanlah pilihan. Juga dalam pertempuran, ketelanjangan adalah bunuh diri, Hurwit mengungkapkan.
Prajurit dan pahlawan sering, tetapi tidak selalu, direpresentasikan secara telanjang. Seniman mendemonstrasikan kekuatan fisik yang digunakan pria untuk mengalahkan musuh mereka.
Tapi, seperti yang dikatakan Hurwit, jika Anda bisa berperang dengan telanjang, Anda harus cukup kuat.
“Ketelanjangan Yunani bukan lambang penghinaan, namun moral kebajikan di antara elit sosial,” kata Neil MacGregor, direktur British Museum dilansir dari Daily Mail.
Memahami anatomi manusia
Seniman selalu mengamati tubuh manusia dengan cermat. Tujuannya untuk memahami bagaimana rupa dan geraknya. Mereka bahkan menunjuk model untuk mempelajari setiap detail berkali-kali dan dengan bentuk tubuh yang berbeda.
Pada saat itu, tidak ada pemisahan antara seni dan sains, keduanya dilihat sebagai subjek yang cair. Sebagian besar filsuf, fisikawan, dan seniman ‘melayang mulus’ di antara disiplin ilmu sambil mengeksplorasi ide-ide yang berbeda.
Tetapi membuat patung yang akurat secara anatomis adalah disiplin ilmu lain. Setiap otot, saraf, sendi harus dipahat dengan presisi. Bahkan jika satu bagian atau bagian dari potongan tidak proporsional, itu tidak memiliki efek yang sama.
Perbedaan mendapatkan dari 95% akurat hingga 100% akurat membuat dunia berbeda di mata pemirsa.
Seniman dan ilmuwan membedah mayat untuk memahami komposisi dan cara kerja tubuh, meskipun meski ini dilarang oleh gereja Katolik.
Baik seniman maupun ilmuwan menganggap penting untuk lebih akurat dan yakin, tentang cara kerja tubuh manusia. Untuk mengetahui otot apa yang digunakan ketika mengepalkan tangannya, saraf mana yang menonjol, bahwa jari telunjuk berada 0,5 cm lebih tinggi dari jari tengah.
Semua detail kecil ini memerlukan studi dan pembedahan tanpa akhir sebelum bisa mendekati kesempurnaan.
Hal ini menciptakan "naturalisme" di Renaisans Awal. Seniman menciptakan bentuk manusia menjadi lebih seperti kehidupan nyata, dalam posisi yang jauh lebih nyaman dan sehari-hari.
Upaya dan penelitian ilmiah yang diperlukan untuk memahat dan membuat patung yang akurat secara anatomis memberi seniman pengakuan dan status yang lebih tinggi. Ini bahkan setara dengan intelektual dan filsuf, karena karya mereka juga didasarkan pada penelitian dan representasi manusia yang akurat.
Lambang kerentanan manusia
Penelitian Hurwit, yang diterbitkan dalam American Journal of Archaeology, juga menemukan contoh pria telanjang yang kalah, sekarat, dan mati. Dalam kasus ini, ketelanjangan dipilih untuk mewakili kerentanan subjek.
Sementara itu, pekerja biasa juga ditampilkan tanpa busana. Ini menggambarkan keringat dan otot mereka untuk menunjukkan betapa kerasnya mereka bekerja. Dewa dan orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi terkadang digambarkan dengan pakaian untuk menunjukkan tempat mereka di masyarakat.
Penelitian Hurwit tentang nuansa seni Yunani ini juga menawarkan sekilas tentang sumber budaya peradaban kita saat ini.
"Kita dapat mencoba memahami diri dan konsepsi kita tentang apa artinya menjadi pahlawan dan melampaui harapan normal," ungkapnya.
Menurutnya, semakin kita tahu tentang budaya lain, semakin dalam kita dapat memahami budaya dan diri sendiri.
Post a Comment