Header Ads

Ketangguhan Haenyeo, Para Penyelam Perempuan di Pulau Jeju


 Selain keindahan alamnya, Pulau Jeju di Korea Selatan terkenal akan ‘putri duyungnya’. Mereka adalah para penyelam perempuan yang biasa disebut haenyeo. Tidak seperti nelayan yang pergi ke laut menggunakan kapal, para haenyeo menyelam tanpa bantuan alat spesial apa pun.

Yang mereka butuhkan hanyalah pelampung untuk menandai lokasi saat muncul ke permukaan, sebuah cangkul untuk menggali abalone dan jenis kerang lainnya yang menempel di bebatuan, serta jaring untuk mengumpulkan hasil tangkapan mereka.

Mengenakan jaket pelampung yang berat dan kacamata renang, mereka menyelam ke kedalaman 20 meter dan tinggal di bawah sana selama dua hingga tiga menit sambil menahan napas. Tidak ada yang menggunakan tabung oksigen. Para hanyeo sudah sangat terbiasa dengan kehidupan di bawah laut sehingga mereka layak mendapat julukan putri duyung.

Saat muncul kembali ke permukaan, penyelam perempuan mengeluarkan suara seperti siulan. Itu merupakan cara unik mereka untuk mengeluarkan karbon dioksida dan menghirup oksigen segar.

Para perempuan tangguh

Secara umum, kebanyakan orang Korea menginginkan anak laki-laki. Sebab, hanya laki-laki yang bisa menjadi kepala keluarga. Namun, hal ini tidak berlaku di Pulau Jeju. Di sana, kelahiran anak perempuan dianggap sangat berharga. Banyaknya perempuan yang bekerja dari pagi hingga malam membuat mereka memiliki tempat spesial dalam masyarakat Jeju.

Di masa lalu, anak-anak perempuan di pulau mulai mengumpulkan kerang atau abalone sejak berusia sepuluh tahun. Mereka akan menyelam selama enam hingga tujuh jam per hari, dan tetap melakukan pekerjaan pertanian. Rutinitas yang biasa dilakukan adalah bekerja di pertanian, menyelam, lalu kembali lagi ke sawah.

Karena kehidupan sehari-hari yang melelahkan, penyelam perempuan memiliki ungkapan: “Lebih baik lahir sebagai sapi daripada perempuan”. Namun, bukan berarti kehidupan para haenyeo tidak bahagia sama sekali


Penyelam perempuan biasanya bekerja dalam grup. Saat beristirahat, mereka menyalakan api unggun di pantai, mengeringkan pakaian, berbagi makanan dan saling mengobrol. Bekerja sebagai penyelam juga memberikan mereka pendapatan yang bagus.

Para haenyeo memperoleh kebebasan, kemandirian, dan harga diri yang lebih tinggi dibanding perempuan lainnya. Tidak hanya ahli dalam mengumpulkan makanan, mereka juga memiliki ketertarikan besar pada isu budaya dan sosial.

Selama masa penjajahan, para penyelam perempuan ini memimpin gerakan anti Jepang dan mendirikan koperasi untuk melestarikan sumber daya kelautan.

Saat ini, haenyeo memainkan peran penting sebagai pelindung lautan dan lingkungan ekologinya. Koperasi mereka bahkan mendirikan restoran dan toko seafood.


Awal kemunculan

Meskipun tidak diketahui dengan pasti kapan penyelam perempuan muncul pertama kali di Jeju, mereka diperkirakan sudah ada sebelum Masehi. Tempat suci yang menghormati nelayan dan penyelam perempuan menunjukkan bahwa mereka sudah ada sejak manusia mulai mengumpulkan makanan dari laut. Dan para penyelam telah lama menjadi bagian dari Pulau Jeju.

Sebuah studi yang dilakukan pada 1960 mengenai fisiologi penyelam perempuan menyatakan bahwa Pulau Jeju adalah tempat kelahiran para haenyeo. Penyelam yang lahir di pulau tersebut bermigrasi ke daerah lain setelah menikah. Apabila jumlah penyelam sudah mencapai batas, sebagian perempuan pindah ke area lain yang memiliki lebih banyak kerang. Selama pendudukan Jepang, mereka bahkan pergi ke Tiongkok, Rusia dan Jepang untuk mencari uang.

Bagaimana pun juga, jumlah penyelam perempuan di Jeju telah menurun drastis karena serangan hiu dan penyakit jantung saat menyelam. Pada 2002, hanya ada 5600 penyelam perempuan dan lebih dari setengahnya berusia di atas 60 tahun. Dalam sepuluh tahun mendatang, jumlah penyelam kemungkinan hanya ada setengahnya.

Jika Anda bertemu para putri duyung tersebut saat mengunjungi Pulau Jeju, itu mungkin akan menjadi hari keberuntungan.

No comments

Powered by Blogger.